Dhamantra Ajukan Penangguhan Penahanan Bendesa Adat Tanjung Benoa

banner 468x60

DENPASAR – MANGUPURANEWS.com – Setelah tiga Minggu Bendesa Adat Tanjung Benoa I Made Wijaya alias Yonda, bersama lima tersangka lainnya di tahan di Mapolda Bali, anggota Komisi VI DPR RI Nyoman Dhamantra menemui Waka Polda Bali Brigjen Pol. Gede Alit Widana, Kamis (12/10). Tunjuannya, mengajukan permohonan agar Yonda diberikan penangguhan penahanan.

“Tadi ke saya berkunjung (ke Polda-red) sekaligus mengirim surat sehubungan dengan penahanan Bendesa Adat Tanjung Benoa dan pelaku lainnya. Dalam surat itu substansinya yang paling mendasar adalah kita ingin agar diberikan penangguhan,” ujar Dhamantra.

Bacaan Lainnya

Kenapa begitu? Secara pribadi, ia melihat kalau persoalan itu menyangkut desa adat dan merupakan hasil paruman adatnya. Seyogyanya tidak hanya dibebankan kepada bendesa adat dan prajurunya, karena itu merupakan aspirasi masyarakat lalu dibawa ke paruman dan akhirnya jadilah keputusan.

“Dari keputusan tersebut, namanya bendesa dan prajuru yang sifatnya sebagai pelaksana saja. Kenapa saya mengatakan demikian karena itulah yang terjadi. Faktanya di lapangan namanya bendesa dan prajuru hanya boleh bertindak kalau ada keputusan dari hasil paruman,” tegaanya.

Ia berharap penegakan hukum terkait dengan pengadilan atau mengadili sebuah keputusan adat, itu sifatnya dalam rangka memberikan pendidikan hukum yang konstruktif dan ada upaya tetap menjaga konsistensi desa adat bersangkutan. Jadi, penegakan hukum itu tidak bisa dilepaskan dari sosiologi hukum. “Misalnya yang mau diadili ini sebuah keputusan adat, tidak harus menghilangkan eksistensi desa adat itu sendiri. Kita harapkan misalnya ada pendekatan persuasif,” ungkapnya.

Secara sosiologis, lanjut Dhamantra, di samping sebagai bendesa adat, Yonda juga wakil rakyat. Sebenarnya dalam proses menahan itu dalam undang-undang tertulis dapat ditahan. “Kata dapat ini harus dengan pertimbangan-pertimbangan, misalnya menghilangkan barang bukti dan sebagainya. Dia ini kan sebagai bendesa adat dan wakil rakyat, tidak mungkin dia lari. Itu bisa dijadikan pertimbangan penegak hukum, khususnya kepolisian agar tidak menahan,” ungkapnya.

Namun ia tidak ingin mengganggu proses hukum yang berlaku, tapi hanya memberikan sebuah masukan bahwa persoalan hukum tidak bisa lepas dari sosiologi hukumnya dalam membuat keputusan-keputusan hukum. “Untuk itu saya harapkan kepolisian khususnya Polda Bali bisa memberikan penangguhan penahanan kepada Yonda dan lima pelaku lainnya,” kata politisi PDI Perjuangan ini.

Terkait rencana Polda Bali melimpahkan kasus Yonda ke Kejati Bali hari ini, Jumat (13/10), Dhamantra mengungkapkan pengajuan permohonan penangguhan penahanan akan disampaikan ke Kejati Bali.

Melihat kasus tersebut, Dhamantra mengaku mendapat laporan bahwa pengurugan itu memang hasil paruman. “Saya hanya mohon penangguhan penahanan dan tidak mau intervensi persoalan hukumnya. Ini semua disepakati dalam paruman. Jadi kalau kita bicara pasal 18B (Masyarakat Hukum Adat), negara wajib hukumnya memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat adat dengan segala hak tradisionalnya. Hak tradisional masyarakat adat Bali itu keberadaannya direpresentasikan oleh desa adat yang ada,” ujarnya.

Terkait penahanan Yonda ini, ia mengaku belum mendapat sebuah pertimbangan atau masukan yang membuat Polda harus melakukan penahanan. “Enggak usah bendesa adat ditahan karena sebagai pelaksana keputusan yang harus dilakukannya,” tegasnya.

Waka Polda Brigjen Alit Widana saat dikonfirmasi membenarkan adanya pertemuan tersebut. Sedangkan surat yang diberikan Dhamantra, sudah diserahkan kepada Direktur Reskrimsus untuk dipelajari dan dilaporkan kepada Kapolda.

Seperti diberitakan, setelah menyandang status tersangka sejak Juli lalu, I Made Wijaya alias Yonda, saat ini menjabat Bendesa Tanjung Benoa dan anggota DPRD Badung ditahan di Rutan Polda Bali, Senin (25/9) lalu.

Yonda ditahan terkait kasus dugaan pengurugan dan penebangan hutan mangrove di Pantai Barat Tanjung Benoa. Sedangkan Yonda sempat mengklaim ingin menjaga kawasan hutan mangrove dan aset Desa Pakraman berupa Pura Gading Sari. Selain itu, pihaknya ingin menyelamatkan wilayah Tanjung Benoa dari abrasi dan ingin menata kawasan hutan mangrove dari sampah, apalagi kawasan pantai barat dikunjungi ribuan wisatawan domestik dan asing.(kerta negara/Balipost)

Sumber : BaliPost

Artikel Asli >>>

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.