Divestasi Freeport: Strategi Jokowi Hantam Mafia KKN Tiga Zaman.

banner 468x60

JAKARTA – MANGUPURANEWS.com – Tak hanya haters Jokowi sudah pasang kuda-kuda. Politikus pun demikian. Namun, dengan gempita dan elegan Jokowi memaksa Freeport melakukan divestasi. Kaum bumi datar dan pemasang jebakan divestasi, DPR, dan kaum kapitalis pun terhenyak. Kegagalan menggoreng isu Freeport tetap akan bergulir. Kenapa? Kepentingan politik dan mafia terganggu. Mereka sebenarnya menginginkan kegagalan kontrak.

Divestasi alias nasionalisasi Freeport adalah isu politik panas. Menanganinya merupakan prioritas bagi Jokowi. Freeport didivestasi ala Jokowi adalah kata lain dari nasionalisasi. Dia melawan kepentingan kapitalisme Amerika. Bagaimana sepak terjang Jokowi yang brilian dalam menangani Freeport tanpa terjebak dalam ‘nuansa’ dan ‘rasa’ pengaruh Amerika Serikat?

Bacaan Lainnya

Pun di dalam negeri kasus divestasi Freeport ini menjadi ujian bagi Jokowi. Bahkan di dalamnya telah disiapkan jerat jebakan bagi Jokowi. Kegagalan menangani divestasi tambang ini akan menjadi alat politik penasbihan Jokowi sebagai memihak kapitalisme dan tunduk kepada kepentingan Amerika Serikat. Kegagalan memenuhi tuntutan kapitalisme dan Amerika akan menimbulkan reaksi unjuk kekuatan. Sejarah mencatatnya.

Kepentingan Kapitalisme Amerika

Bagi Freeport-McMoran, Freeport memiliki nilai strategis, tambang di Papua ini menyumbang 27% dari seluruh operasinya di seluruh dunia. Bahkan saking menariknya Freeport, Carl Icahn pun ikut memiliki. Freeport adalah kepentingan mutlak Walt Street dan pemilik modal.

Saking pentingnya nilai Freeport, di awal jabatan kepresidenan Donald Trump, Mike Pence pun dikirimkan menemui Jokowi di Jakarta. Belum pernah dalam sejarah wapres Amerika Serikat dalam masa 100 hari pertama menjabat mengunjungi Indonesia.

(Presiden Jokowi pun dalam pertemuan dengan Pence menyampaikan hal yang normatif-legalistis terkait Freeport. Ini menunjukkan kekuatan posisi Indonesia terkait divestasi – istilah lain dari merebut 51% alias penguasaan atas tambang tersebut. Pence pun pulang dengan tangan hampa.)

Sejak 2014, besaran profit dan setoran pajak dan deviden kepada Indonesia mengalami penurunan. Terakhir tercatat yang terbesar adalah pada 2014 dengan 1.5 milyar dollar. Penguasaan Freeport selama kurun waktu 1992 sampai 2013 menyumbang 15,2 milyar dollar. Setelah itu dipastikan menurun hanya sampai ratusan juta dollar – tidak sampai ke angka 600 juta dollar.

Belum lagi sebelumnya bos Freeport menggalang komunikasi dengan kalangan oposisi di Indonesia. Bahkan gerakan untuk mengamankan nasionalisasi itu dengan selalu mengangkat komisaris yang dianggap memiliki kekuatan lobby. Ini penting dalam memuluskan perjalanan dan operasi perusahaan.

Berbagai langkah dilakukan untuk menempatkan Freeport tetap berada dalam kekuasaan mutlat pengusaha alias Amerika. Pengendalian salah satu perusahaan emas terbesar di dunia itu dengan pemegangan atas saham mayoritas mereka pegang. Divestasi alias nasionalisasi jelas akan terlalu menguntungkan Indonesia.

Zaman Diktator Presiden Soeharto

Sejarah Freeport dimulai sejak, kesempatan pertama setelah penjatuhan Bung Karno oleh eyang saya Presiden Soeharto. Kontrak awal berlaku 1967 sampai 1991. Perjanjian ini tidak menimbulkan tuntutan keadilan apapun dari rakyat Indonesia.

Isi perjanjian kontrak dengan Freeport seratus persen didiktekan oleh Amerika. Apalagi saat itu infrastruktur dan insustri Indonesia sangat ketinggalan, sehingga pengerukan kekayaan emas dan tembaga dilakukan secara besar-besaran tanpa control pemerintah Indonesia.

Pada masa awal pemerintahannya, sektor pendidikan, kesehatan, dan pertanian didorong, dengan tambang dan minyak sebagai sumber pembiayaan sampai 80% pendapatan. Freeport memiliki peran penting sebagai penyumbang pendapatan bagi Indonesia.

Zaman Hatta Rajasa dan Pengangguran SBY

Sejak awal, Freeport adalah sapi perah. Perusahaan tambang ini seakan menjadi wujud nyata bahwa ‘natural resource’ sesungguhnya adalah ‘natural curse’.  Sumber daya alam akan menjadi kutukan bagi sebuah bangsa dan rakyat, tidak memberikan manfaat selain penderitaan, konflik kepentingan, politik dan ekonomi. Tidak terkecuali Freeport.

Upaya untuk keluar dari kutukan itu sudah lama digaungkan, diarahkan untuk kesejahteraan rakyat. Namun selalu saja ada politikus semprul, pemodal kapitalis, dan kongkalikong kelas tinggi menjadikan Freeport sebagai alat tawar segitiga antara (1) kapitalisme, (2) pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, dan (3) mafia-politikus semprul.

UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara mengejar Freeport untuk membangun smelter. Bahan mentah dilarang diekspor. Namun Hatta Rajasa kala itu hanya menjadikannya isu zig-zag kepentingan politik dan ekonomi para kroni.  UU itu hanya menjadi pepesan kosong sebagai alat tarik-menarik kepentingannya.

Jauh hari Hatta Rajasa sebagai Menko Perekonomian zaman rezim pengangguran SBY 10 tahun, dengan lantang menyatakan: “”Sejak 12 Januari 2014 jam 00:00 WIB ini tidak lagi dibenarkan bahan mentah kita ekspor dalam arti harus lakukan pengolahan.”

Betapa tidak dia hanya mendapatkan janji Freeport akan membangun smelter. Pernyataan Freeport yang menyatakan menggandeng PT PT Indosmelt dan PT Indovasi Mineral Indonesia dalam pembangunannya adalah omong kosong. Sudah sejak 2012 sampai sekarang belum selesai. Kompensasinya, perusahaan itu masih bisa mengeskpor konsentrat.

Artinya, zaman itu Freeport benar-benar tak dapat ditundukkan. Dari kurun waktu 2009 sampai 2014 nol besar dan tidak ada progress sama sekali sampai pemerintahan beralih ke tangan orang benar Jokowi – selain Ahok dan Dedi Mulyadi.

Zaman Pencerahan Jokowi

Masalah yang dihadapi Presiden Jokowi untuk renegosiasi kontrak Freeport sangat berat karena isi perjanjian terakhir tahun 1991 sama dengan yang ditandatangani di 1969 yang sangat menguntungkan Freeport, bahkan tanpa upaya perlindungan terhadap kerusakan lingkungan.

Jokowi adalah Presiden RI pertama yang tidak terikat dan terkait dengan kekuasaan diktator eyang saya Presiden Soeharto. Maka dengan lantang dia mencanangkan nasionalisasi dengan nama divestasi Freeport untuk mendorong pemasukan dana bagi pembangunan infrastruktur yang dicanangkan secara masif di seluruh Indonesia dan Papua.

Presiden Jokowi pun mencanangkan penguasaan 51% saham sebagaimana UU Minerba syaratkan, sementara saat ini Indonesia baru menguasai 9,36 % (bandingkan dengan Carl Icahn seorang investor yang menguasai 7% saham publik), sisanya dikuasai oleh Freeport McMoran dan publik Wall Street.

Menghadapi Jokowi, Freeport memainkan jurus isu Papua Merdeka, kerusakan lingkungan, dan PHK ribuan karyawan. Retorika tentang pelaggaran HAM, kemanusiaan, menjadi bahan pelintiran media Amerika untuk menutupi keengganan divestasi. Pemogokan 4,000 karyawan terjadi, yang digerakkan oleh Freeport.

Indonesia hanya menginginkan divestasi dan keuntungan bagi Indonesia.  Kenyataannya, Freeport memainkan operasi dengan angka-angka yang menunjukkan tambang itu tidak semenguntungkan beberapa tahun lalu ketika harga komoditas itu tinggi. Tahun 2014 Freeport menyetor pajak ke kas Indonesia sebesar 1.5 milyar dollar. Bahkan tahun 2012, 2013, 2014 tidak menyetorkan deviden. Namun perundingan kontrak divestasi tetap berjalan.

(Pun Freeport adalah bagian dari kepentingan keuntungan panjang klan sejak eyang saya Presiden Soeharto, dan para kroni termasuk Ginanjar Kartasasmita. Freeport adalah gula manis kesepakatan kestabilan Papua. Ia adalah lanjutan diplomasi adu domba Soviet-Amerika ala Bung Karno yang bisa merebut Tanah Air seluas lima kali pulau Jawa.)

Memasuki kekuasaan Jokowi, rancangan untuk merebut Freeport dilancarkan. Menteri Sudirman Said bergerak. Namun kepentingan berbagai kontraktor terkait para pejabat Golkar yang mengakar membuat upaya Sudirman Said gagal total. Presiden Jokowi pun memecat orang dekat Jusuf Kalla ini.

Di tangan Jonan, langkah strategis gencar dilakukan dengan dirinya berangkat menemui pimpinan Freeport-McMoran, Richard Adkerson, di Amerika Serikat. Upaya ini dilanjutkan oleh kunjungan bos tambang itu ke Jakarta untuk menemui Sri Mulyani Indrawati. Isinya tetap menekankan tekad divestasi Freeport dan jaminan kelanjutan investasi dan pengelolaannya.

Hal itu disampaikan secara langsung tidak melalui para pimpinan Freeport di Timika. Hasilnya masih belum maksimal namun ada kesepakatan awal untuk divestasi. Indonesia mendapatkan komitmen dari pusatnya, meskipun Humas Freeport Indonesia Riza Pratama menyangkalnya kemudian.

Tak sampai di situ, Jokowi pun mengirimkan Jenderal Luhut Pandjaitan yang kenal dekat dengan kalangan di Washington, dan menemui beberapa rekan militer, untuk memuluskan tekanan terhadap Freeport dengan menekankan kepentingan geostrategis Indonesia. Tak hanya itu peran Arcandra Tahar pun dimainkan karena dia menguasai liku-liku kapitalisme dan jaringan investasi di Amerika Serikat.

Dengan cara sunyi seperti itu, Jokowi mampu meredam isu politik panas dengan elegan dan nasionalisasi dalam nama divestasi Freeport tidak menimbulkan gejolak dan berbagai langkah lanjutan dilemparkan kepada DPR. Dan, catatan terpenting ini adalah awal membuka jaringan mafia KKN di Freeport terkait dengan kongkalikong kontraktor di sana. (Siapa pun nama yang terkait akan diungkapkan tanpa inisial sebagaimana biasa.) Itulah cara Jokowi. Kini Indonesia menguasai 51% saham Freeport, dan Papua pun akan mendapatkan antara 5 % saham dari pemerintah. Salam bahagia ala saya.

Sumber; seword.com

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.