Freeport Tolak Skema Divestasi, ESDM: Ini kan Biasa

banner 468x60
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik di Gedung KPK, Jumat (16/9). Bambang diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan oleh Gubernur Sul

TEMPO,CO. JAKARTA – Freeport McMoran Copper and Gold Inc menolak skema divestasi saham yang diajukan pemerintah pada Jumat 29 Agustus 2017 lalu. Penolakan tersebut disampaikan melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 28 September 2017. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono mengatakan penolakan Freeport tersebut wajar terjadi dalam proses negosiasi.

“Ini kan biasa dalam proses negosiasi. Pihak yang satu minta seperti, pihak yang kedua minta seperti itu. Biasa saja,” kata Bambang kepada Tempo, Sabtu 30 September 2017.

Bambang mengatakan Kementerian ESDM sebagai fasilitator belum bertemu dengan Kementerian Keuangan untuk membicarakan kelanjutan dari negosiasi tersebut. Menurut Bambang, Kementerian Keuangan adalah pihak yang lebih tepat memberikan respon terkait skema selanjutnya yang akan ditawarkan pemerintah.

Bambang mengatakan pemerintah akan tetap terus konsisten dengan kebijakan terkait divestasi saham Freeport, mengacu pada PP No. 1 Tahun 2017. “Terkait divestasi dan ketentuan perpajakannya yang melaksanakan Kementerian Keuangan. Kami  Kementerian ESDM hanya memfasilitasi saja,” kata dia.

Sedangkan pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan Freeport sebenarnya sejak dahulu tidak pernah setuju dengan divestasi 51 persen saham. Sehingga menurut Fahmy, berbagai dalih dan penolakan akan terus dilayangkan Freeport agar ia tetap memegang mayoritas saham.

“Dalihnya adalah dengan menetapkan harga saham dengan memasukkan aset dan cadangan hingga 2041 bukan 2021,” kata Fahmy.

Menurut pengamatan Fahmy, dari surat penolakan yang dilayangkan Freeport, tidak ada ruang bagi pemerintah untuk mendapatkan divestasi 51 persen. Fahmy mengatakan, dengan memasukkan variabel cadangan hingga 2041, harga saham divestasi jatuh jauh lebih mahal dan cenderung overvalue.

Fahmy mengimbau pemerintah untuk tetap bertahan dalam hal penentuan harga. Hal ini karena penetapan harga saham sudah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2013.  Dalam peraturan tersebut, Pemerintah menggunakan skema perhitungan saham berdasarkan biaya penggantian investasi atau replacement cost.

“Dengan penetapan harga saham yang over value mustahil bagi pemerintah untuk membelinya. Oleh karena itu pemerintah harus kukuh dalam mempertahankan harga,” kata Fahmy.

Sumber : Tempo

 

Artikel Asli >>>

 

 

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.