Sombongnya Presidenku (Jokowi)

banner 468x60

MANGUPURANEWS.com – Ketika kita bicara tentang kedaulatan sebuah Negara maka artinya, Negara harus berkuasa penuh atas apa yang terdapat di wilayahnya, baik batas wilayah, sumber daya alam, kekuasaan Pemerintahan dan kesejahteraan rakyatnya dengan memberlakuan hukum yang berasaskan keadilan. Keberadaan PT Freeport di Indonesia membalik semuanya itu.

Freeport hadir dengan cara yang sangat licik. Dengan menggulingkan pemerintahan disebuah Negara dan menggantinya dengan pemerintahan baru yang sangat akomodatif untuk tujuan dan keuntungan perusahaannya. Akomodatif dalam arti Pemerintahan tersebut dapat diatur sesuai keinginan mereka. “Kami ingin berada di Irian Jaya (Nama Papua sebelumnya) untuk lebih dari 100 tahun” (Milton H. Ward, Chairman of the Board of Directors Freeport Indonesia Inc. 1991)

Bacaan Lainnya

Hampir 50 tahun PT Freeport menjadikan tanah Papua seolah milik mereka. Indonesia seolah tidak punya kuasa atas wilayah tersebut. Segala ketentuan mengenai kekayaan alam Papua, ditentukan oleh Amerika melalui PT Freeport.

Pada tahun 1967, Soeharto menandatangani UU no 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Undang-undang tersebut adalah satu2nya undang undang untuk mengakomodir PT Freeport untuk melakukan eksplorasi pertambangan di Tembagapura. Dimana didaerah tersebut kaya dengan emas, tembaga dan timah. Dan semua itu di monopoli oleh PT Freeport Indonesia Company.

Hingga antara 1991 – 1995, PT Freeport telah mendapat konsesi lahan untuk pertambangan seluas 2,6 juta haktare. Perluasan lahan ini menyebabkan suku Amungme dan suku Komoro harus pindah dari tanah leluhurnya dengan pergantian 0 Rupiah.

Kompensasi bagi warga suku tersebut adalah dipekerjakan di PT Freeport namun hanya pada bagian pekerja kasar diluar pertambangan seperti tukang sapu, pembersih rumput dan perawatan mess karyawan. Who the hell you think you are.!!!!!

Berdasarkan data majalah Eksekutif, pada Maret 1991, tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Freeport berjumlah 16.000 orang, sedangkan tenaga kerja asing berjumlah 1.425 orang. Pada masa awal Freeport berproduksi pada 1973, jumlah tenaga kerja Indonesia dari luar Papua adalah 960 orang, sedangkan orang Papua sendiri, mayoritas berasal dari suku Amungme, jumlahnya hanya 40 orang. Upahnya pun sangat rendah, hanya Rp40 per jam atau kadang-kadang hanya dibayar dengan barang kelontong seperti kornet, rokok, dan tembakau. Pembayaran dalam bentuk barang ini, menurut PT Freeport, sesuai dengan permintaan pemerintah Indonesia sendiri.

Pemerintahan Orde baru bukan hanya menjual kekayaan Negara tapi juga mengeksploitasi warga negaranya demi kepentingan Asing. Padahal apa yang didapat oleh PT Freeport, jauh dari apa yang diperkirakan sebelumnya. Jika di kelola secara benar, Papua akan jauh lebih megapolitan dari pada Jakarta atau Jawa.

Pada Agustus 1995, Kuntoro Mangunsubroto, Dirjen Pertambangan Umum Deptamben, mengatakan bahwa kandungan emas Freeport yang besar itu bisa dimanfaatkan untuk memasok pasar emas domestik.

Menurutnya, emas produksi Freeport di wilayah penambangan Papua pada 1993 saja telah mencapai 20 juta ounces. Jadi, dengan cadangan yang begitu besar yang kemudian dilanjutkan dengan KK II, jumlah produksi emas Freeport masih sangat mungkin untuk ditingkatkan. Dengan demikian program produksi emas nasional dapat ditingkatkan dari 45 juta ounces pada tahun 1995 menjadi 80–90 juta ounces dalam tempo tiga sampai empat tahun mendatang. Dari program produksi sebanyak itu, kontribusi terbesar diharapkan datang dari Freeport.

Pada kenyataannya produksi emas Freeport tidak ditujukan untuk pasar domestik, tetapi ke pasar internasional yang lebih menguntungkan. Hasil pengamatan Tempo pada 1993, dari hasil ikutan emas saja, Freeport mendapatkan sekitar 10–15 gram emas per ton konsentrat.

Pada 1992, emas yang diperoleh Freeport diperkirakan berkisar antara 4.206 sampai 6.300 kilogram. Emas itu kemudian dijual di bursa logam London (London Metal Exchange), per kilogramnya berharga 12,7 ribu dolar AS. Sehingga, total penjualan emas yang didapat Freeport kira-kira sebesar 53,5 juta dolar AS. Sementara, pemerintah Indonesia mendapatkan PPN-nya saja sebesar 5,3 juta dolar AS. Dapat kita bayangkan berapa jumlah kekayaan yang dikeruk PT Freeport selama lebih dari 30 tahun.

Selama masa eksploitasi KK I yang sudah dilewati (periode 1973–1991) saja, Freeport telah mengeduk laba rata-rata 1,1 miliar dolar AS. Namun, Freeport hanya menyetorkan 138 juta dolar AS ke kas negara dalam bentuk deviden, royalti, dan pajak.

Dengan kata lain, negara mendapatkan hasil keuntungan Freeport sebesar 12,54% saja. Sementara itu, dengan bekal kontrak karya II, areal pertambangan Freeport terus melebar hingga ke Deep Area, DOM, dan Big Gossan. Daerah-daerah tersebut sudah siap dieksploitasi, sedangkan daerah Kucing Liar serta Intermediate Ore Zine (IOZ) sampai saat ini masih terus dieksplorasi. Berapakah keuntungan yang diterima oleh pemerintah Indonesia dalam periode yang sama?

Hal penting yang mesti diketahui, pemerintah Indonesia baru menjadi pemegang saham PT Freeport Indonesia pada Juli 1976. Sehingga, perhitungan pembagian keuntungan periode pertama baru mulai dihitung tahun 1976 sampai 1986. Berarti, pendapatan royalti yang diterima pemerintah Indonesia sama dengan 20,861 miliar dolar AS dikurangi 5,215 miliar dolar AS x 1% atau sama dengan 156,1 juta dolar AS.

Pemerintah juga memungut pajak sebesar 35% dari keuntungan yang didapat oleh Freeport (yang berjumlah 14,949 miliar dolar AS) dengan jumlah 5,232 miliar dolar AS. Dengan demikian, jumlah penerimaan negara dari pajak dan royalti selama 14 tahun pertama adalah 5,232 miliar dolar ditambah 156,1 juta dolar atau sama dengan 5,388 miliar dolar AS. Namun, karena pemerintah Indonesia baru menerima hasil dari pembagian keuntungan tahun 1976 sampai 1986 sebesar 19,614 juta dolar AS, total keseluruhan penerimaan Indonesia hanya sebesar 5,407 miliar dolar AS. Sementara, dolar yang berhasil diboyong oleh Freeport ke negeri induknya sebesar 8,652 miliar dolar AS.

Ketimpangan yang sama juga terjadi dalam hal kepemilikan saham. Berdasarkan keterangan Dirjen Pertambangan Umum, Rozik B. Soetjipto (Republika, 8 Oktober 1998), Freeport tidak lagi diwajibkan menyerahkan 51% sahamnya kepada pemerintah Indonesia. Hal itu berkaitan erat dengan Kontrak Karya II yang diterbitkan pemerintah Indonesia untuk Freeport tahun 1991.

Dalam Kontrak Karya II tersebut, Freeport meminta ketentuan tambahan yang berbunyi, “KALAU ADA PERATURAN PEMERINTAH YANG LEBIH RINGAN MAKA, PERATURAN TERSEBUT YANG DIPAKAI. Oleh karena itu, PP No. 20 tahun 1994 yang menyatakan bahwa, investor asing boleh menanamkan modal di Indonesia hingga 100%, lantas dijadikan acuan. Jadi, dengan adanya PP tersebut Freeport tidak memiliki kewajiban menyertakan pemerintah dalam kepemilikan saham lebih besar daripada sebelumnya.

Hal ini berarti pemerintah Indonesia hanya mengandalkan penerimaan pada peningkatan persentase royalti yang sebelumnya hanya sebesar 1,9%.

Kemungkinan, royalti ini pun tidak semuanya masuk ke kas negara, namun berkeliaran atau “mampir” di kantong beberapa pejabat. Kemungkinan kebocoran atas royalti yang diterima oleh Pemerintah bukanlah hal yang mengherankan di Indonesia.

Pada 1990-an, pakar ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo saja pernah memperkirakan, dana utang luar negeri yang bocor sekitar 20%. Padahal, utang ini relatif lebih terbuka pengawasannya karena setiap tahun jumlah dana dan penggunaannya diumumkan secara luas pada khalayak. Namun bagaimana dengan “nasib” royalti dari PT Freeport yang relatif lebih terutup?
Apakah mengalami tingkat kebocoran yang sama atau bahkan lebih besar?
Kita tidak pernah tahu jawabannya.

Sejak berdirinya, Freeport telah mendapat perlakuan istimewa dari para kleptokrasi Orde Baru. Kejayaan Freeport berhubungan erat dengan kekuasaan Orde Baru di bawah kediktatoran Soeharto.

Menurut Mentamben Kuntoro Mangunsubroto (Buana, 29 Otktober 1998), Kontrak Karya II, sudah tidak dapat diubah secara sepihak. Sebab, kalau diubah, menurutnya, akan merusak citra Indonesia di mata dunia internasional. Untuk itu, jalan yang paling mudah ditempuh adalah melakukan perundingan bersama, walau sebenarnya para pejabat Indonesia sudah tertelungkup di bawah ketiak Freeport. Pendek kata, tidak mungkin lagi untuk melakukan renegosiasi dengan Freeport mengenai kepemilikan saham yang akan diperoleh pemerintah Indonesia sebesar 51%.

Segala keraguan dan ketakutan yg dikemukakan oleh rezim orba dan penerusnya, tidak terbukti saat ini. Jokowi mampu menggiring PT Freeport untuk tunduk pada aturan yg ditentukan Pemerintah Indonesia. Penguasaan saham sebesar 51%, adalah bukti bahwa Indonesia melalui Pemerintahannya, adalah negara berdaulat yg bisa menentukan kekuatan Sumber Daya Alamnya.

Kuncinya adalah, semua ditujukan untuk kedaulatan Negara dan demi seluruh rakyat negeri. Bukan keuntungan pribadi pejabat maupun penguasa. Selama ini PT Freeport terbiasa menemui pejabat2 korup yg mudah dikuasai dengan memberi imbalan untuk pribadi2 pejabat tersebut. Dan sepertinya, Jokowi dan jajaran Menteri di kabinetnya, bukan pejabat mainstream, bukan tipikal pejabat korup seperti selama ini.

Barter kekuasaan dan sifat tamak penguasa sebelumnya, bisa membuat PT Freeport lah yg berkuasa atas SDA di Papua. Mereka dengan semena2 menggiring Pemerintah Indonesia membuat perjanjian yg lebih menguntungkan mereka sementara, untuk Indonesia cukup berbagi dengan penguasa dan pejabat2 berwenang.

Jokowi dan kabinetnya, bukan pejabat murahan yg bisa diberi upeti untuk menjual negeri. Beliau terlalu angkuh dan sombong untuk dirayu oleh perusahan sekelas PT Freeport.

Itulah kekuatan Presidenku, Joko Widodo.

-TYVa-
-riza aqbal-

Sumber : #katakita

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.